Peringatan (boleh diabaikan) !...Menelusuri Weblog ini dapat menyebabkan cerdas, bijaksana, serangan kantuk, serta ganguan terhadap stagnasi pikiran!.......Menulislah engkau, selama engkau tidak menulis engkau akan hilang dari masyarakat dan pusaran sejarah (Pak De Pram "Pramoedya Ananta Toer").
Hambat Urbanisasi, Optimalkan Otonomi Desa
Saturday, October 11, 2008
Mudik Lebaran sudah menjadi tradisi bagi sebagian besar masyarakat bangsa Indonesia. Namun, di balik tradisi tersebut selalu saja memberikan tambahan pekerjaan rutin tahunan kepada pemerintah.

Beberapa kota besar seperti Jakarta diperkirakan tidak kurang tiap tahun sekitar 200 ribu penduduk tambahan datang menyerbu. Walaupun telah diatur dalam perda No 4 Tahun 2004 yang mengatur tentang warga pendatang peraturan tersebut tidak dapat membendung gelombang para pendatang baru di Jakarta.

Hal tersebut membuat Pemerintah Daerah DKI Jakarta tahun 2008 akhirnya mengultimatum bagi setiap pendatang ikutan dengan memberlakukan sweepping dengan sanksi dipulangkan paksa ke daerah asalnya yang akhirnya mengundang Komnas HAM memberikan respon terhadap langkah preventif Pemerintah Daerah DKI.

Besaran arus urbanisasi nyaris berbanding lurus dengan arus mudik pada tahun 2008 ini. Membesarnya arus urbanisasi, menurut Michael Lipton (Why poor people stay poor; a study of urban bias in the world development, 1977), merupakan refleksi kegagalan ekonomi di desa yang ditandai sulitnya mencari lowongan pekerjaan dan gagalnya revitalisasi pertanian yang ditandai maraknya alih fungsi lahan sebagai push factors.

Di sisi lain daya tarik kota dengan penghasilan tinggi sebagai pull factors. Dalam teori pasar kerja preferensi itu logis sehingga berimplikasi pada besarnya suplai tenaga kerja di perkotaan. Masalahnya disparitas ekonomi antar wilayah perkotaan dengan pedesaan memunculkan "urbanisasi prematur".

Otonomi daerah harus menekan laju urbanisasi. Peningkatan arus urbanisasi ini terdorong karena belum optimalnya implementasi UU Otoda Nomor 22 Tahun 2004 di mana pemerintah daerah belum berhasil menyediakan lapangan pekerjaan di pedesaan-pedesaan sehingga kota-kota besar menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat pedesaan.

Hal itu diakibatkan karena pemerintah daerah gagal di dalam menterjemahkan peluang dan potensi daerahnya. Sentralisme ekonomi dan komersialisasi pembangunan menjadikan pergerakan ekonomi berkutat di kota-kota besar. Apabila ini dibiarkan akan menjadi bom waktu yang ditimbulkan akibat dari dampak urbanisasi.

Oleh karena itu perlu dilakukan revitalisasi kelembagaan pada tingkat operasional, optimalisasi sumber daya, dan pengembangan sumber daya manusia pelaku usaha dan pemerintah daerah dalam implementasi Otonomi Daerah.

Keleluasaan dalam regulasi yang memproteksi petani dan usaha kecil di mana indikator-indikator tersebut diharapkan mampu meningkatkan daya saing melalui peningkatan produktivitas serta merespons permintaan pasar dan memanfaatkan peluang usaha.

Selain bermanfaat bagi peningkatan pendapatan masyarakat pedesaan pada umumnya upaya tersebut juga dapat menciptakan diversifikasi perekonomian pedesaan yang pada gilirannya meningkatkan sumbangan dalam pertumbuhan perekonomian regional dan nasional.

Dengan begitu akan menekan arus urbanisasi karena adanya keseimbangan ekonomi antara kota dan desa dengan tersedianya lapangan pekerjaan yang ragam dengan demikian tujuan dari pada otonomi daerah dapat mencapai sasaran.

Selain masyarakat pedesaan yang sejahtera hal tersebut tentu saja menekan laju arus urbanisasi. Karena motif ekonomi telah dapat dijawab dengan tersedianya kesempatan kerja dan peluang usaha di pedesaan mantiri.
 
madhayudis's . at 7:47 PM | Permalink


2 Komentar:


At 9:37 PM, Anonymous Anonymous

blog anda bagus banget salut saya melihatnya

 

At 7:13 PM, Anonymous Anonymous

pertama blog-nya emang buagus banget....wekku cuman sederhana aja, soale gak iso macem2...ilmune gak nutut...

kedua tentang urbanisasi...
aku yang merupakan bagian dari masyarakat urban, memang lebih memilih untuk urban daripada tetep di kampung dengan kondisi menyedihkan...

meski pada kenyataannya kehidupan urban itu sangat sulit dan keras...bila dibandingkan dengan kehidupan di desa asal, juauh buanget pak...di desa saya bisa menghirup udara seger, masih bisa lihat pasar sing lara'ane umbyu'an, masih bisa melihat seger lorone sadulur, makan sepiring bisa saya bayar 3000, dan masih luas zona kenyaman semacam itu...tapi zona kenyamanan yang seperti itu ternyata kontra produktif, ada beberapa orang yang mencoba untuk produktif tetapi hasil akhirnya kembali terpuruk...

di desa belum banyak pilihan. di jember yang sudah lumayan besar meski nggak sebesar surabaya & malang, warganya juga banyak yang ada di luar jember seperti surabaya, malang, jakarta, dll...

berandai-andai boleh nggak pak...
seandainya di jember saya diperkenankan berkarya seperti di cikarang ini, dijamin pulang kampung saya pak...