Hari Pertama,
Radio, Televisi, Komputer kumatikan, bahkan HP (telfon bimbit kata orang meleysie) benda yang oleh Sekarwangi disebut sebagai berhala kecil juga kumatikan, lalu kumasukkan dalam laci dan tak lupa ku kunci agar bayanganya tidak melambai menggiurkan. Hanya lampu setengah watt kusisakan untuk membaca dan menulis.
Aku ingin jauh dari hingar-bingar dunia, apalagi trauma hiruk-pikuk polusi Megapolitan Jakarta (Ampun Dah!..). Masuk kamar, lalu kukunci dari dalam, jlekk! Tiga hari rencanaku bersamaan dengan libur panjang. Diam. Mencari irama detak jantung dan hembusan nafas. Merasakan aliran darah ke seluruh tubuh. Menelusuri saraf-saraf, otot-otot dan sinyal-sinyal kehidupan pembakaran menjadi energi sampai aku dapat menggerakkan pena menuang kata.
Hari Kedua,
Aneh terasa aneh. Biasanya aku sibuk kerja, main game, dengerin musik atau nonton televisi yang penuh dengan sinetron recehan dan sederet iklan berisi hasutan untuk membeli. Kiriman SMS dari orang terkasih juga tak terdengar, juga bunyi miss call dari teman yang kurang kerjaan juga tak pernah terdengar lagi. Telefon kost sudah kuboikot sendiri. Inilah silence time-ku. Saat aku hanya mengembara dalam batin, bercengkrama dengan diri. Belajar mengerti, menyayangi dan mencintai seseorang bernama Madha yang bukan Madha tapi me-Madha.
Markesot tokoh Imajinernya Cak Nun (Bapake Noey Letto) mengatakan, hidup ini pada hakekatnya adalah sendirian atau hanya berdua dengan Sang Maha Pencipta. Meski ada orang lain dan tengah bercakap-cakap, sebenarnya dalam situasi yang bersamaan kita mengembara dalam batin masing-masing. Menurutku, bahasa lisan gaya bicara, dan body language hanyalah wakil dalam berkomunikasi yang baik dengan diri sendiri. Bukankah manusia meditatif adalah manusia yang mampu bersunyi-ria dalam keramaian dan tidak lonely when alone!
Hari Ketiga,
Banyak sekali yang ingin kutulis disini. Terlalu banyak. Dan bukan tempatnya untuk mengungkap semuanya. Kedamaian hati dan pikiran memang begitu menginspirasi “mind”. Buku Agama dan psikologi modern yang pernah kubaca menyarankan agar aku mempunyai “sacred time” barang beberapa saat tiap harinya seperti bertafakur (sholatul lail) di sepertiga malam misalnya.
Aku pernah mendapatkan tips dari sebuah majalah, “menulislah dengan hati, lalu sempurnakan dengan otak”, sejak saat itu salah satu fitur Hp yang selalu kuremehkan fungsinya kini aku fungsi-kan untuk menulis, tulisanya-pun aku tak peduli tentang apa, jelek atau tidak, yang penting begitu terbersit sesuatu di hati, segera kutulis.
Terakhir ingin kuucapkan bagi yang peduli baca dan tulis di Indonesia yang katanya bangsa yang menyebalkan, bodoh, dan sering di bodohi: selamat menulis suara hati anda yang sering tak terdengar, sunyi…….!